KBRN, Surakarta: Komunikasi yang sehat merupakan fondasi utama bagi keharmonisan sebuah keluarga. Namun, idealisme keluarga yang damai sering kali terdistorsi oleh budaya patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi dominasi mutlak. Dalam struktur ini, kekuasaan ayah yang tidak terkendali sering kali menjadi akar dari penindasan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yang secara sistematis merusak mental generasi muda.
Film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis (2024) secara berani memotret dampak nyata dari sistem patriarki tersebut melalui karakter Bapak Pras yang temperamental. Sebagai kepala keluarga, ia merasa pendapatnya adalah hukum yang tak terbantahkan dan kerap menggunakan kekerasan fisik maupun verbal untuk menjaga otoritasnya.
Sikap ini menciptakan disfungsi komunikasi yang serius, di mana anak-anak seperti Tari kehilangan keberanian untuk bersikap terbuka (self-disclosure) karena hidup di bawah bayang-bayang ketakutan. Dampak dari pola asuh yang menindas ini memicu trauma psikologis mendalam bagi anggota keluarga.
Ketika ruang untuk berdialog tertutup, segala penderitaan dan emosi anak akan terpendam hingga mencapai titik jenuh. Dalam narasi film tersebut, kegagalan keluarga sebagai tempat yang aman akhirnya memaksa anak-anak untuk pergi meninggalkan rumah, sebuah simbol retaknya fondasi keluarga akibat hilangnya rasa saling memahami.
Melalui kacamata Semiotika Roland Barthes, setiap tindakan kekerasan dalam film ini dapat dibedah sebagai sistem tanda yang membawa ideologi tertentu. Teriakan atau gertakan seorang ayah bukan sekadar luapan emosi, melainkan manifestasi dari mitos patriarki yang melegitimasi kekerasan demi menjaga hierarki rumah tangga.
Analisis ini penting untuk membongkar keyakinan keliru tersebut dan menggantinya dengan pemahaman baru bahwa laki-laki sejati adalah mereka yang mampu mengayomi dan merangkul emosi, bukan mendominasi dengan rasa takut. Sebagai simpulan, karya sinematik ini menjadi pengingat keras bahwa keluarga seharusnya menjadi pelindung, bukan penjara emosi yang menciptakan luka batin.
Menghapuskan tanda-tanda patriarki yang opresif adalah langkah krusial untuk menciptakan lingkungan keluarga yang sehat dan adil. Jika rumah tangga sudah terjebak dalam siklus kekerasan, mencari bantuan profesional bukanlah sebuah aib, melainkan tindakan berani untuk memulihkan masa depan yang lebih baik.
(Aditya Prayoga, Ilmu Komunikasi UMS)