Tahun Baru: Pekerja Media Bertahan atau Terbang Lebih Tinggi

KBRN, Surabaya: Tahun baru 2026 tinggal menghitung hari. Namun berubahnya tahun ini bukan sekadar pergantian kalender, tetapi penanda babak baru tantangan dunia media. Di tengah arus informasi yang kian deras dipercepat oleh teknologi digital dan media sosial, media dituntut terus bertransformasi. 

Konvergensi, multiplatform, dan pemanfaatan teknologi mutakhir seolah menjadi kata kunci yang tak terelakkan. Namun, pertanyaannya apakah transformasi teknologi saja sudah cukup? Jawabannya: belum.

Berbagai riset industri media global menunjukkan bahwa kegagalan banyak media bertahan bukan semata karena kalah teknologi, melainkan karena krisis Sumber Daya Manusia (SDM). Reuters Institute Digital News Report mencatat, kepercayaan publik terhadap media sangat bergantung pada kualitas jurnalisme dan integritas pewartanya, bukan sekadar kecanggihan platform yang digunakan.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak media konvensional terpaksa menutup operasionalnya. Sejumlah media cetak dan majalah yang pernah berjaya seperti Rolling Stone Indonesia, majalah HAI, hingga beberapa surat kabar lama akhirnya berhenti terbit. Di tingkat daerah, tak sedikit radio lokal dan koran harian yang gulung tikar atau sekadar bertahan dengan skala minimal.

Penutupan ini kerap dianggap sebagai dampak langsung dari distrupsi digital. Namun jika dicermati lebih dalam, persoalannya tidak sesederhana itu. Banyak media tersebut sebenarnya telah mencoba beradaptasi dengan platform digital, memiliki situs daring, bahkan aktif di media sosial. 

Sayangnya, transformasi itu tidak selalu diiringi kesiapan SDM yang mampu membaca perubahan audiens, menghadirkan inovasi konten, dan menjaga ruh jurnalistik. Akibatnya, teknologi hanya menjadi etalase, bukan penggerak. Media kehilangan relevansi, ditinggalkan pembaca dan pendengar, lalu perlahan mati dengan sendirinya.

Di sinilah tantangan terbesar media hari ini manusia di balik layar.

Pada era 2000-an, pekerja media baik penyiar, reporter maupun jurnalis memiliki spesifikasi mental yang nyaris seragam yakni satu kata militansi. Mereka bekerja dengan semangat yang terpatri dalam satu filosofi sederhana, layaknya slogan petugas pemadam kebakaran "pantang pulang sebelum padam". Pagi, siang, malam, bahkan dini hari, jalanan menjadi ruang hidup mereka.

Dedikasi itu menjadikan media bukan sekadar tempat bekerja, melainkan ruang pengabdian. Hari ini, lanskap itu berubah. Memang tidak adil jika seluruh Generasi Z digeneralisasi. Faktanya, ada pewarta muda yang tetap militan, kreatif, dan inovatif. Namun, jumlahnya belum simultan. 

Pola pikir instan bahwa bekerja cukup sebatas memenuhi porsi tanggung jawab minimum lebih dominan dibandingkan semangat berjuang dan berproses. Bukan soal malas, melainkan pergeseran nilai tentang kerja, tanggung jawab, dan makna profesi.

Inilah tantangan nyata dunia media saat ini.

Seorang maestro praktisi radio di Surabaya yang sekarang sudah almarhum pernah berujar, “mati hidupnya radio itu karena SDM-nya sendiri.” Pernyataan ini terasa sederhana, tetapi sangat dalam maknanya. Media bisa memiliki studio megah, peralatan siaran canggih, dan platform digital lengkap. Namun tanpa SDM yang kreatif, adaptif, dan peka terhadap kebutuhan pendengar maupun pembaca, semua itu akan sia-sia.

Apa yang disampaikan itu sepenuhnya masuk akal. Ketika para pekerja media senior satu per satu meninggalkan ruang redaksi entah karena pensiun atau selesai masanya sementara generasi baru memilih bertahan tanpa perubahan, maka masa depan media berada di persimpangan. Dalam situasi seperti itu, media tidak perlu diserang dari luar untuk tumbang. Ia akan mati perlahan oleh kelalaiannya sendiri.

Teknologi hanyalah senjata. SDM-lah yang menentukan arah tembakan.

Jika insan media terjebak dalam stagnasi, puas dengan capaian hari ini tanpa inovasi dan kreasi, maka kematian media hanya tinggal menunggu waktu. Sebaliknya, ketika SDM mampu membaca perubahan, memahami audiens, dan berani keluar dari zona nyaman, media akan tetap relevan bahkan terbang lebih tinggi.

Pada akhirnya, semua kembali menjadi pilihan. Apakah dunia media ingin sekadar bertahan, atau berani terbang mengejar mimpi yang lebih besar. Selamat Tahun Baru. Saatnya SDM media menentukan arah masa depan.


Penulis: Benny Hermawan (Pengelola Redaksi dan Liputan RRI Surabaya)

Rekomendasi Berita