KBRN, Kupang: Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal kaya akan warisan alat musik tradisional, salah satunya adalah Klingu Pola, alat musik tiup unik dari masyarakat Helong di Pulau Semau. Instrumen yang terbuat dari daun lontar ini bukan sekadar alat musik biasa, melainkan memiliki fungsi filosofis mendalam sebagai penanda dan pemanggil dalam ritus pertanian.
Hal ini diungkapkan oleh Charles Thomson Suna, seorang Pelaku Seni Budaya Helong, yang menjelaskan bahwa Klingu Pola merupakan alat musik yang tergolong langka dan memiliki kekhasan tersendiri bagi orang Helong Pulau Semau. Secara etimologi, kata "Klingu" berarti wadah yang ditiup, yang dalam bahasa modern dapat diartikan sebagai nafiri atau trompet. Sementara "Pola" merujuk pada material pembuatnya, yaitu daun lontar.
Adapun material Klingu Pola dibuat murni dari daun lontar tua yang sudah dikeringkan. Pemilihan daun lontar harus yang tua dan tebal agar tidak mudah rusak dan menghasilkan bunyi yang baik.
Proses pembuatan alat musik ini cukup cepat, hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk satu buah instrumen. Daun yang sudah dikeringkan kemudian digulung rapi sesuai ukuran.
“Untuk pengawetan, alat musik ini disimpan dekat tungku api (diasap) agar tidak dimakan rayap dan tetap awet,” ujarnya.
Bentuknya Klingu Pola menyerupai trompet dengan ukuran yang bervariasi. Ukuran terkecil sekitar 1,50 meter, sedangkan yang terpanjang bisa mencapai 2 meter lebih.
Sementara itu cara memainkan Klingu Pola adalah dengan cara ditiup. Bunyi alat musik ini dihasilkan dari hembusan napas dan getaran dawai bibir pemain.
Secara tradisional, Klingu Pola memiliki fungsi utama yang sangat spesifik, yaitu digunakan oleh orang yang sedang berkebun atau menjaga kebun di musim tanam. Yang menarik, instrumen ini dimainkan pada waktu-waktu tertentu, khususnya tengah malam hingga menjelang pagi di area kebun.
"Kliung pola ini dibunyikan itu menandakan bahwa oh orang berkebun juga di sana," kata Charles.
Lebih dari sekadar penanda, alat musik ini terikat pada ritus pertanian. Menurut keyakinan leluhur Helong, bunyi Klingu Pola berfungsi untuk memanggil arwah-arwah makanan (roh tanaman) agar kembali dan menyatu dengan tumbuhan di kebun.
"Jagung yang kita tanam itu dia adalah senyawa dan kita harus kita belai, harus kita memanggil mereka, menyatu dengan kita karena mereka memberi kehidupan untuk kita," tuturnya. Hal ini menggambarkan bagaimana nenek moyang mereka menghargai tanaman tanpa pupuk modern, melainkan melalui sentuhan dan ritual suara ini.
Di era modern, Klingu Pola juga digunakan sebagai alat musik penyambutan tamu terhormat dalam festival dan dapat dimainkan dalam kolaborasi dengan alat musik tradisi Helong lainnya seperti gong kayu dan tiupan daun ubi. Meskipun memiliki nilai historis dan filosofis yang tinggi, keberadaan Klingu Pola kini kian langka.
Tantangan terbesar dalam pelestariannya adalah teknik memainkannya. "Kliung pola ini susah ditiup oleh orang, agak susah makanya orang cepat bosan belajar ini musik ini,” katanya.
Hal ini bukan tanpa alasan karena instrumen ini hanya bisa menghasilkan bunyi yang merdu apabila dimainkan dengan "perasaan" atau emosi yang tepat, bukan sekadar teknik tiup biasa. Klingu Pola mampu menghasilkan sekitar empat nada; semakin panjang ukuran instrumennya, semakin banyak nada yang bisa dihasilkan.
Guna menjaga warisan ini, Charles Thomson Suna bersama komunitas dan gereja di lingkungannya terus berupaya meregenerasikan tradisi ini. "Kami persiapkan untuk perlombaan musik tradisi, jadi dilestarikan terus-menerus, diregenerasikan kepada anak-anak supaya mereka tahu kekhasan-kekhasan budaya ini," tutur Charles, berharap generasi muda dapat melanjutkan tradisi leluhur Helong ini di masa depan. (JR)