Tiga Kabupaten di Sumsel Rawan Pernikahan Anak

KBRN, Palembang: Praktik pernikahan anak masih menjadi persoalan mendesak di Sumatera Selatan. Tiga daerah, yakni Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, dan Muara Enim, disebut sebagai wilayah dengan kasus pernikahan di bawah usia 19 tahun yang masih tinggi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Selatan mencatat, pada 2022 sekitar 31,89 persen perempuan menikah sebelum usia 19 tahun, bahkan 12,92 persen menikah sebelum usia 16 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa ruang aman bagi anak perempuan masih rentan, terutama di wilayah dengan tekanan ekonomi dan budaya patriarki yang kuat.

Sorotan tersebut mengemuka dalam program Pengarusutamaan Gender dan Inklusi bertema Peran Perempuan Muda dalam Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Anak dan Usia di Bawah 19 Tahun yang disiarkan PRO 1 RRI Palembang, Senin (15/12/2025). Dua narasumber dari Women Crisis Center (WCC) Palembang, Alda Lestari dan Dini Okiviani, memaparkan kondisi di lapangan yang masih memprihatinkan.

Staf lapangan WCC Palembang, Alda Lestari, menyebut minimnya pemahaman menjadi salah satu akar persoalan pernikahan dini di ketiga kabupaten tersebut. “Sedihnya, masih banyak perempuan yang tidak tahu apa akibat dari pernikahan dini, baik dari sisi kesehatan, mental, maupun masa depan mereka,” ujar Alda.

Ia mengungkapkan, di Banyuasin pernah ditemukan kasus kehamilan tidak diinginkan yang berujung pada pernikahan paksa. Faktor ekonomi dan tekanan sosial kerap memaksa anak perempuan kehilangan hak untuk menentukan masa depannya sendiri. “Banyak faktor yang melatarbelakangi, mulai dari kehamilan di luar nikah sampai persoalan ekonomi keluarga,” katanya.

Menurut Alda, pernikahan di usia muda tidak jarang berujung pada perceraian dini dan meninggalkan luka psikologis yang panjang. “Dampaknya bisa berupa gangguan mental. Karena itu kami sekarang lebih sering turun langsung melakukan sosialisasi ke daerah-daerah,” jelasnya.

Hal senada disampaikan staf advokasi WCC Palembang, Dini Okiviani. Ia menilai kondisi pernikahan anak di OKI, Banyuasin, dan Muara Enim masih jauh dari kata aman. “Miris melihat kasus pernikahan dini di Sumsel, terutama di tiga kabupaten ini,” ujar Dini.

Dini menyebut, faktor ekonomi masih menjadi alasan dominan orang tua menikahkan anak lebih cepat. Dalam sejumlah kasus, anak perempuan dipandang sebagai beban keluarga, bahkan ada praktik pernikahan akibat persoalan utang. “Masih ada orang tua yang berpikir anaknya cepat dinikahkan karena dianggap beban, bahkan ada juga kasus penukaran anak melalui pernikahan,” ungkapnya.

Sebagai langkah pencegahan, WCC Palembang secara rutin melakukan edukasi dan pendampingan bagi remaja perempuan, terutama mereka yang masih di bawah usia 19 tahun. “Kami fokus memberikan edukasi agar remaja perempuan paham hak dan risiko pernikahan dini,” kata Dini.

Dalam sesi interaksi pendengar, WCC juga menegaskan bahwa sesuai Undang-Undang Perkawinan, batas minimal usia menikah bagi laki-laki dan perempuan di Indonesia adalah 19 tahun, menanggapi pertanyaan warga yang masih menganggap usia 18 tahun diperbolehkan menikah.

Melalui edukasi yang menyasar keluarga, sekolah, dan ruang publik, WCC berharap praktik pernikahan anak di tiga kabupaten tersebut dapat ditekan. Kesadaran bersama dinilai menjadi kunci agar anak perempuan di Sumatera Selatan memiliki kesempatan tumbuh, belajar, dan menentukan masa depannya secara utuh.

Rekomendasi Berita