KBRN, Banda Aceh : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( KOMNAS HAM) Aceh mendorong adanya Percepatan penanganan paska bencana di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Selain itu Komnas HAM Aceh meminta pemerintah perlu segera tetapkan Status Bencana Nasional.
Komnas HAM mencatat Per hari Senin (15/12/2025) Secara Nasional berdasarkan Geoportal Data Bencana Indonesia (bnpb.go.id) tercatat 52 Kabupaten/Kota di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat terdampak dengan 1.022 jiwa meninggal, 206 orang hilang, 7.000 warga terluka, 182.241 rumah rusak, 1.600 fasilitas umum rusak, 219 fasilitas kesehatan rusak, 967 fasilitas pendidikan rusak, 434 rumah ibadah rusak, 290 gedung/kantor rusak, dan 145 jembatan rusak.
Menurut KOMNAS HAM Aceh sesuai data BPBA per 15 Desember 2025 menunjukkan 424 warga meninggal dunia, 32 hilang, lebih dari 4.300 terluka, serta 138.500 rumah rusak yang tersebar di 18 kabupaten/kota, dengan total 831.000 warga mengungsi.
KOMNAS HAM Aceh memandang Sesuai Prinsip 18 dan Prinsip 25 dari Prinsip-prinsip Paduan Bagi Pengungsi Internal (IDPs) yang dikeluarkan oleh Kantor PBB Urusan Kemanusiaan, pada dasarnya semua pengungsi intenal memiliki hak atas standar penghidupan yang layak serta paling sedikit, dalam keadaan apapun, dan tanpa diskriminasi berhak atas bahan pangan pokok dan air bersih, tempat bernaung atau perumahan yang bersifat mendasar, bahan sandang yang layak dan layanan kesehatan dan sanitasi yang penting. Meskipun pihak yang berwenang di tingkat nasional dalam hal ini pemerintah, yang pertama-tama memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menyediakan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi, namun organisasi-organisasi kemanusiaan internasional dan pelaku-pelaku lain di bidang kemanusiaan memiliki hak untuk menawarkan jasa-jasa mereka dalam upaya membantu para pengungsi internal.
Lewat Pers Rilis yang di tandatangani oleh Kepala Sekretariat Komnas HAM Provinsi Aceh, Sepriady Utama itu, KOMNAS HAM Aceh menilai tawaran semacam itu tidak boleh ditafsirkan sebagai suatu campur-tangan dalam urusan-urusan dalam negeri suatu negara, melainkan harus dipertimbangkan dengan itikad baik.
"Karena itu, persetujuan penerimaan tawaran bantuan itu tidak boleh ditunda. Semua pihak berwenang yang terkait harus memfasilitasi adanya jalan masuk yang bebas terbuka bagi bantuan kemanusiaan serta menjamin akses penyediaan bantuan yang cepat," Demikian salah satu butir pernyataan itu.
Selain itu sesuai undang-undang nasional, bencana ekologi di tiga provinsi tersebut telah memenuhi indikator sebagai bencana nasional sebagaimana Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyebutkan penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat indikator yang meliputi jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Penetapan sebagai bencana nasional dapat dilakukan apabila terdapat korban dalam jumlah besar, kerugian material yang signifikan, cakupan wilayah terdampak yang luas lintas daerah, terganggunya fungsi pelayanan publik dan pemerintahan, serta menurunnya kemampuan daerah dalam menangani bencana.
Dengan pertimbangan itu, dengan tetap mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat, TNI, Polri, BNPB, BPBD/BPBA dan pemerintah daerah, serta dalam rangka percepatan penanganan paska bencana Ekologi di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, termasuk rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah perlu segera menetapkan Status Bencana Nasional.
“Status demikian sejalan dengan Prinsip-prinsip PBB mengenai Prinsip-Prinsip Panduan bagi Pengungsi Internal dan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,” demikian bunyi siaran pers tertanggal (15/12/2025) itu.
Selain itu menurut KOMNAS HAM Aceh, Pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk segera membentuk suatu badan ad hoc dan/atau setidak-tidaknya Satuan Tugas Rehabilitasi dan Rekonstruksi guna mempermudah, mempercepat, dan memastikan proses pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi paska bencana yang terkoordinasi dan berkelanjutan, mencakup pembangunan infrastruktur, rumah, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, rumah ibadah hingga normalisasi kehidupan sosial dan ekonomi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Sebelumnya Pada tanggal 10 Desember 2025, Ketua Komnas HAM RI menyatakan bahwa bencana ekologis yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memberikan penegasan bahwa pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), mitigasi risiko bencana, dan tata kelola pembangunan tidak dapat dipisahkan dari penghormatan HAM. Dampak bencana sangat signifikan diantaranya: ribuan warga kehilangan tempat tinggal, akses air bersih, layanan kesehatan, fasilitas pendidikan, rumah ibadah, hancurnya infrastruktur (seperti jembatan, jalan, jaringan telekomunikasi, Listrik) dan dukungan kebutuhan dasar terputus, serta banyak keluarga yang hidup dalam situasi pengungsian yang serba terbatas.